II.3. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan
Sebelum dikenal konsep pemasyarakatan, sistem perlakuan terhadap para terpidana di Indonesia masih mewarisi peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu sistem kepenjaraan. Sistem ini diterapkan dalam bentuk perlakuan tertentu yang cenderung tidak manusiawi dan tidak mengenal peri kemanusiaan serta mengharapkan para terpidana betul-betul merasa tobat dan jera, kemudian tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka masuk penjara. Namun dalam pelaksanaannya sistem kepenjaraan ini ternyata kurang efektif, terbukti dengan semakin meningkatnya tindak kejahatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, termasuk juga residivisnya.
Sebelumnya pada tahun 1933 terjadi upaya perbaikan terhadap penjara yang membahasnya di forum terbuka oleh The International Penal and Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana dan pelaksanaan pidana mulai merancang atau merencanakan mengenai standard pembinaan narapidana. Kemudian ditahun 1934, IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The League of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Kemudian pada tahun 1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres PBB, yang dijadikan Standard Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana. Pada tahun 1957, dewan ekonomi dan sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan pada setiap negara untuk menerima dan menerapkannya (Indonesia Desing Vol. 3 No. 16 Thn. 2006, hal.77).
Prinsip-prinsip pokok konsepsi Pemasyarakatan di Indonesia berawal dari gagasan Dr. Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 dan hasil konferensi pada tanggal 27 April s/d 7 Mei 1964 antar kepala Penjara seluruh Indonesia di Lembang, Bandung untuk merumuskan gagasan pemasyarakatan secara lebih konkrit, antara lain:
Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga.
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat, bukan diasingkan daripadanya.
Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan sebagai kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja.
Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila
Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.
Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.
Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan dan sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya di tengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal. (Dep. Kehakiman dan HAM RI, Warta Pemasyarakatan Oktober 2001, hal 16)
II.4. Lapas Narkotika
Berdasarkan pengertian yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa Lapas Khusus Narkotika adalah suatu tempat yang mana di dalamnya menjadi tempat sementara maupun seumur hidup narapidana yang terdapat kegiatan pembinaan dari kecanduan narkotika.
Pelaku-pelaku atau terpidana dalam Lapas narkotika ini dapat terbagi dalam tiga golongan yang masing-masing terpidana mendapat jenis dan besar hukuman pidana yang berbeda, yaitu:
• Pengguna
• Pengedar sekaligus pengguna
• Bandar
II.5. Struktur Organisasi Lapas Narkotika Klas IIA
Sebelum dikenal konsep pemasyarakatan, sistem perlakuan terhadap para terpidana di Indonesia masih mewarisi peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu sistem kepenjaraan. Sistem ini diterapkan dalam bentuk perlakuan tertentu yang cenderung tidak manusiawi dan tidak mengenal peri kemanusiaan serta mengharapkan para terpidana betul-betul merasa tobat dan jera, kemudian tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka masuk penjara. Namun dalam pelaksanaannya sistem kepenjaraan ini ternyata kurang efektif, terbukti dengan semakin meningkatnya tindak kejahatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, termasuk juga residivisnya.
Sebelumnya pada tahun 1933 terjadi upaya perbaikan terhadap penjara yang membahasnya di forum terbuka oleh The International Penal and Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana dan pelaksanaan pidana mulai merancang atau merencanakan mengenai standard pembinaan narapidana. Kemudian ditahun 1934, IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The League of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Kemudian pada tahun 1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres PBB, yang dijadikan Standard Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana. Pada tahun 1957, dewan ekonomi dan sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan pada setiap negara untuk menerima dan menerapkannya (Indonesia Desing Vol. 3 No. 16 Thn. 2006, hal.77).
Prinsip-prinsip pokok konsepsi Pemasyarakatan di Indonesia berawal dari gagasan Dr. Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 dan hasil konferensi pada tanggal 27 April s/d 7 Mei 1964 antar kepala Penjara seluruh Indonesia di Lembang, Bandung untuk merumuskan gagasan pemasyarakatan secara lebih konkrit, antara lain:
Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga.
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat, bukan diasingkan daripadanya.
Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan sebagai kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja.
Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila
Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.
Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.
Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan dan sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya di tengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal. (Dep. Kehakiman dan HAM RI, Warta Pemasyarakatan Oktober 2001, hal 16)
II.4. Lapas Narkotika
Berdasarkan pengertian yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa Lapas Khusus Narkotika adalah suatu tempat yang mana di dalamnya menjadi tempat sementara maupun seumur hidup narapidana yang terdapat kegiatan pembinaan dari kecanduan narkotika.
Pelaku-pelaku atau terpidana dalam Lapas narkotika ini dapat terbagi dalam tiga golongan yang masing-masing terpidana mendapat jenis dan besar hukuman pidana yang berbeda, yaitu:
• Pengguna
• Pengedar sekaligus pengguna
• Bandar
II.5. Struktur Organisasi Lapas Narkotika Klas IIA
Adapun uraian tugas setiap bidang dapat dilihat melalui tabel berikut:
Bagian Tata Usaha : Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Lapas
Subbag. Kepegawaian : Melaksanakan urusan kepegawaian.
Subbag. Keuangan. : Melaksanakan urusan keuangan.
Subbag. Umum. : Melaksanakan urusan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
Bidang Pembinaan Napi : Melaksanakan pembinaan pemasyarakatan narapidana
Seksi Registrasi : Melakukan pencatatan dan membuat statistik serta dokumentasi narapidana.
Seksi Bimb. Kemasy. : Memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani serta memberikan latihan olahraga, peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan pelepasan narapidana.
Seksi Perawatan Napi : Mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana.
Bidang Kegiatan Kerja : Memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan sarana kerja
Seksi Bimb. Kerja : Memberikan petunjuk dan bimbingan latihan kerja bagi napi
Seksi Sarana Kerja : Mempersiapkan fasilitas sarana kerja.
Seksi Hasil Kerja : Mengelola hasil kerja.
Bidang Admministrasi. Keamanan dan tata tertib : Mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengaman yang bertugas serta menyusun laporan berkala dibidang keamanan dan tata tertib.
Seksi Keamanan : Mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.
Seksi Lapor dan Tatib : Menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan laporan berkala dibidang keamanan dan tata tertib.
KPLP : Menjaga keamanan dan ketertiban Lapas.
Sumber: Kep.Men RI No. M.01-PR.03 Th. 1985, tentang Organisasi dan Tata Kerja LP
No comments:
Post a Comment